By ARNAN
27 November 2023
Foto: I Gusti Made Teddy Pradana, Anggota Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indoensia (PC KMHDI) Badung
SuratanBali.Com - Disadari atau tidak kita hari ini telah berada pada gerak revolusi industri yang keempat— industrialisasi yang ditandai dengan tidak terlihatnya lagi batasan antara dunia fisik dan cyber (Cyber Physical System/CPS). Robotik saat ini tidak lagi menjadi sekadar selogan, namun telah benar-benar nyata diimplementasikan pada proses industri. Sebut saja Toyota dan Ford yang beberapa tahun lalu mulai menggunakan collaborative robot (cobot) untuk proses produksi yang lebih mudah, aman, dan cepat sehingga dapat memenuhi permintaan konsumen (Newton, R., 2017). Dibanding robot versi sebelumnya, CPS memungkinkan peningkatan interaksi manusia-mesin melalui Internet of Things (IoT): sensing dan modules, yang memungkinkan adanya kustomisasi sistem-respon. Sebagai contoh, CPS/cobot akan seketika berhenti bekerja saat terditeksi ada tangan/jari pekerja di production line, dan secara otomatis bekerja kembali ketika tidak ada objek yang membahayakan terditeksi oleh sensor.
Sayup-sayup dalam ingatan, setahun lalu jagad maya dihebohkan dengan fenomena Ghozali Everyday. Alih-alih untuk pembuatan video time lapse (red: video klip dari kumpulan foto dari waktu ke waktu), pemuda asal Semarang ini malah mencoba menjual foto selfienya di OpenSea —sebuah platform jual beli asset digital yang santer dikenal dengan nama NFT (Non-functional Token). Gayung disambut, tidak hanya terjadi transaksi penjualan, namun lebih dari itu, NFT milik Ghozali malah dihargai semakin mahal oleh kolektor (Pratomo, G. Y., 2022). Selain hype, fenomena ini bisa terjadi karena sudah semakin matangnya ekosistem dan arsitekntur teknologi blockchain yang telah dikembangkan sejak 2008. Teknologi ini sejatinya berfokus pada penyimpanan data secara terdesentralisasi, yang memungkinkan data tidak dapat dirubah, transparan, dan dapat ditelusuri asal usulnya, sehingga pada ujungnya meningkatkan kepercayaan pengguna.
Baru-baru ini dunia dibuat heboh dengan kemunculan ChatGPT. Betapa tidak, salah satu produk dari OpenAI ini mampu mendapatkan 100 juta user hanya dalam waktu 2 bulan. Sebagai perbandingan, untuk memperoleh jumlah user yang sama, Tiktok membutuhkan waktu 9 bulan, Youtube membutuhkan waktu 1,5 tahun, Instagram 2,5 tahun, Facebook 4,5 tahun dan Twitter selama 5 tahun (Ruby, 2023). ChatGPT adalah sebuah model generative Artificial Intellegence (AI) yang antar mukanya dibuat dalam bentuk chat. Generative Pre-trained Transformer adalah model yang dimaksud, yang dapat disingkat GPT. Kalau diingat-ingat dulu juga ada aplikasi serupa, namanya SimSimi (saat SMA, ini merupakan temen chat penulis ketika gabut). Bedanya, Simsimi akan menjawab pertanyaan dengan logika IF-THEN dengan database terbatas, namun ChatGPT menggunakan AI yang dapat berbasiskan seluruh informasi yang tersedia di internet. Teknologi ini tentu akan sangat mempermudah hidup manusia, namun disisi lain juga membayangi kita akan dampak negatif yang sangat mengkhawatirkan. Walau pendiri OpenAI, Elon Musk (CEO Tesla) dan Sam Altman (CEO Y Combinator) meluncurkan ChatGPT didasari atas pandangan untuk mendemokratisasi AI (Lewontin, M., 2015) dan membuatnya free (Czerwonka, M., 2016) untuk digunakan secara luas, namun, kita tentu perlu tetap bersiap diri untuk kemungkinan terburuk.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa Hindu?
Saya mencoba menggunakan purwaka KMHDI (red: ideologi organisasi Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) untuk menjawab tantangan ini dengan mengelaborasinya pada fakta dan data kekinian. Menjalankan Dharma Agama dan Dharma Negara adalah identitas dalam tiap denyut gerak langkah mahasiswa Hindu Indonesia. Tugas ini adalah hak sekaligus kewajiban untuk tercapainya “Intelektual Hindu yang Moksartham Jagaditha Ya Ca Iti Dharma” (Dharma Agama) dan “mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka” (Dharma Negara). Dua capaian ini seyogyanya dapat diperoleh dengan pegangan landasan yang kuat.
Lahirnya Intelektual Hindu adalah jawaban dari kekhawatiran akan kecanggihan teknologi yang semakin tidak terbendung. Intelektual Hindu yang dimaksud adalah intelektual Hindu yang Moksartham Jagaditha Ya Ca Iti Dharma; intelektual Hindu yang memiliki kebersatuan dengan sang pencipta di dunia (material) ini dalam menjalan suatu kebenaran. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dilandasi dengan pengetahuan suci (Veda) termasuk didalamnya jñ?na—kebenaran ilmu pengetahuan (science). Karena pada dasarnya, technology adalah penerapan dari science. Dengan memiliki landasan science yang kuat, kita tidak hanya mejadi insan yang memiliki technological awareness, namun kitalah yang memegang kendali kemana teknologi akan dibawa: kemana penerapan dari science, ilmu pengetahuan yang agung ini akan dibawa.
Gambar: Postingan NASA via X @NASA dalam mempromosikan NASA Fall Internship Program 2021
Pada bagian Dharma Agama ini saya coba memberikan penjelasan yang lebih praktis melalui sebuah cerita. Beberapa tahun lalu ketika saya bermain twitter, saya melihat postingan NASA yang sedang mempromosikan program mereka: fall internship (magang di musim gugur). Dalam postingannya untuk mengajak ikut program internship, NASA mesisipkan 4 peserta magang sebelumnya seperti gambar dibawah ini. Sisipan foto ini tampaknya memiliki
ide untuk menunjukkan keberagaman orang yang bertugas di badan antariksa AS. Namun, foto terakhir dalam postingan NASA ini menjadi dipenuhi dengan dengan sentimen negatif berupa olokan terhadap keyakinan Hindu seperti berhala dan sebagainya (WION, 2021). Namun, positifnya postingan ini menjadi viral (termasuk saya yang tidak follow NASA bisa tidak sengaja liat). Saya jadi aware, dan melakukan monolog: “hei diriku, orang India sudah ada di NASA, mereka berusaha kompetitif dalam penerapan teknologi, plus usaha mereka itu beriringan dengan kepercayaan ke-Tuhan-an nya mereka. Kamu sebagai bagian Hindu Nusantara saat ini sedang ngapain?”, selorohku sendiri. Dan, usaha bangsa mereka tidak sia- sia. Rabu, 23 Agustus 2023, wahana luar angkasa mereka Chandrayaan-3 dengan Vikram dan Prakyam1-nya berhasil mendarat di kutub selatan bulan —daerah yang belum berhasil disentuh oleh negara manapun (Fakhriansyah, M., 2023).
Mari kita lanjut ke bagian kedua, Dharma Negara. Konsep nagari sebenarnya sudah lama ada di Nusantara, namun negara yang kita maksud pada bagian ini akan spesifik Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam preambule UUD 1945 dengan landasannya Pancasila. Setelah bangsa Indonesia masuk ke gerbang kemerdekaan dan menyatakan kemerdekaannya, Mahasiswa Hindu dalam Dharma Negara-nya memiliki hak dan kewajiban untuk mencapai “tujuan Indonesia Merdeka”. Selanjutnya paragraf dalam pembukaan UUD 1945 berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ……”
Secara pribadi, saya merasakan bahwa setelah 78 kemerdekaan Negera Indonesia, Pemerintah Negara Indonesia (dan masyarakatnya seperti saya) masih berfokus untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Tujuan ini penting. Amanat dan cita-cita ini muncul dari solidaritas bangsa Indonesia yang ingin bebas dari penderitaan kolonialisme-imperialisme dan memperoleh keadilan-kesejahteraan sosial. Namun, kita juga tidak boleh lupa, Pemerintah Negara Indonesia (dan termasuk komponen masyarakatnya seperti mahasiswa Hindu) perlu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Setelah lepas dari kolonialisme-imperialisme, “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah upaya kita untuk mampu berkompetisi (bersaing) dengan negara lain dalam memajukan bangsa dan negara. Ini juga merupakan hak dan kewajiban mahasiswa Hindu seperti telah dijelaskan pada bagian Dharma Agama sebelumnya. Kemudian setelah itu yang tidak kalah penting adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Bagaimana kita bisa ikut melaksanakan ketertiban dunia? Mari kita diam sejenak dan berpikir bersama.
Menurut saya, poin internasionalisme adalah salah satu topik yang sangat sedikit dibahas. Bernegara dengan pandangan bahwasanya kita adalah bagian dari masyarakat internasional adalah perlu dimasukan oleh mahasiswa Hindu dalam Dharma Negaranya. Low hanging fruit yang seharusnya kita perjuangkan diawal untuk menjalankan Dharma Negara menurut saya adalah menguasai bahasa internasional. Bahasa yang dimaksud bisa bahasa Inggris, Mandarin, Sansekerta, Arab atau yang lainnya. Dalam bagian ini saya juga akan berusaha memberikan contoh praktis berdasarkan pengalaman saya pribadi sebagai berikut.
Selama empat tahun saya menempuh studi dan melakukan penelitian bidang rekayasa sistem industri terutama berhubungan dengan teknologi blockchain dan kawan-kawannya, saya merasakan teman belajar saya secara daring yang paling banyak adalah orang India. Berbicara pengembangan teknologi, mereka terdorong untuk kompetitif dan membagi pengetahuan mereka di hampir semua platform (medium hingga stakeoverflow, youtube hingga udemy) dan di hampir semua topik teknologi (dari rumus ms. excel sampai ngoding integrated system). Maka tidak heran jika saat ini diaspora India dipercaya sebagai CEO dari berbagai raksaksa teknologi dunia (Annur, 2022). Padahal jika kita membandingkan dari beberapa aspek dan karakteristik demografi, bangsa, negara dan lainnya, kita memiliki banyak kemiripan dengan India. Namun, mengapa kita terasa masih jauh tertinggal? Menurut saya enabler paling besar mengapa India bisa semaju sekarang adalah kecakapan berbahasa inggris dan keberanian untuk memulai untuk menjadi masyarakat global. Kita perlu meniru hal baik dari siapapun itu termasuk dari bangsa India. Kita perlu “start small and thing big” dalam menjalankan Dharma Negara. Hanya dengan ini, seharusnya bangsa dan Negara Indonesia bisa mulai sejajar dengan negara lain.
Gambar: beberapa CEO Raksasa Teknologi Dunia asal India
Cyber Physical System (CPS) seperti collaborative robot adalah ciri dari dimulainya revolusi industri ke-4. Berbagai teknologi lainnya seperti blockchain dan artificial intellegence (AI) menjadi riuh diperbincangkan masyarakat Indonesia beberapa waktu kebelakang. Namun, sebagai mahasiswa Hindu, bagaimanakah seharusnya kita menanggapi perkembangan teknologi? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan pendekatan purwaka KMHDI yaitu dengan menjalankan Dharma Agama dan Dharma Negara.
Dharma Agama bertujuan untuk mencapai intelektual Hindu yang Moksartham Jagaditha Ya Ca Iti Dharma dengan berlandaskan Veda/pengetahuan suci. Dalam konteks ini mahasiswa Hindu memiliki hak dan kewajiban untuk mengejar ilmu pengetahuan (science) yang didasari dan beriringan dengan kepercayaan kepada sang pencipta, sehingga dikemudian hari akan dimiliki kemampuan untuk mengarahkan penggunaan teknologi masa depan.
Dharma Negara memiliki tujuan untuk mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka. Dalam hal ini, mahasiswa Hindu memiliki hak dan kewajiban untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa setelah mencapai pintu gerbang dan menyatakan kemerdekaan Negara Indonesia. Melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan kesejahteraan umum, merupakan langkah pertama Pemerintah Negara Indonesia untuk melepaskan bangsa dari belenggu kolonialisme- imperialisme, sehingga diperoleh kebebasan dan keadilan serta kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, ditekankan agar bangsa dan Negara Indonesia mampu bersaing dengan negara lainnya. Cita-cita yang tidak kalah pentingnya adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang mana dalam hal ini, mahasiswa Hindu Indonesia hendaknya mampu menjadi pioneer internasionalisme dengan pertama-tama memetik low hanging fruit yaitu memiliki kecapakan bahasa internasional seperti bahasa Inggris.SB/AAN