By ARNAN
04 May 2023
SuratanBali.Com, JAKARTA - Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra memandang bahwa sulitnya akses pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan menjadi masalah serius ke depannya. Kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi dengan peningkatan gaji orang-orang Indonesia.
Dilansir dari laman Kompas.id, rata-rata total biaya kuliah 8 semester di PTN dan PTS di tahun 2040 sebesar Rp. 430 juta sedangkan penghasilan rata-rata orang tua lulusan SMA/SMK di tahun 2040 sebesar Rp. 64,8 juta. Bahkan meski sudah menabung selama 18 tahun, tabungan yang dapat dikumpulkan hanya sebesar 177,2 juta. Dana ini hanya mampu membiayai 3 dari 8 semester atau sama dengan 41,2 persen dari biaya kuliah keseluruhan.
Sementara hal yang serupa juga ditemui pada orang tua lulusan sarjana. Rata-rata dalam setahun mereka hanya mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 101,1 juta. Apabila mereka menabung selama 18 tahun, jumlah tabungan yang terkumpul hanya sebesar Rp. 299,2 juta. Dana yang terkumpul tersebut hanya mampu membiayai kuliah anak selama 6 semester atau 69,6 persen dari biaya keseluruhan.
“Peningkatan biaya pendidikan ke depan tidak berjalan seiring dengan peningkatan gaji yang diterima oleh sebagian besar orang tua, terlihat dari data yang dapat diakses di kompas.com bahwa rata-rata kenaikan biaya pendidkkan pertahunnya sekitar 15-20 % sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat indonesia hanya sekitar 5,3 % saja. Hal ini dapat menyebabkan para orang tua tidak mampu menutupi biaya pendidikan tinggi sang anak. Meski tidak menjamin kesuksesan seseorang, tetapi setidaknya lulusan sarjana akan menambah peluangnya untuk sukses” terang Yoga.
Sulitnya akses pendidikan akibat biaya pendidikan yang mahal tersebut bertentangan dengan semangat Indonesia hari ini untuk menjadi salah satu negara besar di tahun 2045. Harapan menjadi Indonesia Emas di tahun 2045 akan sulit terealisasi apabila negara tidak mampu menyiapkan SDM berkualitas dan berdaya saing.
“Mahalnya biaya pendidikan sehingga berdampak pada sulitnya pendidikan tersebut diakses juga berdampak pada kualitas SDM nantinya. Karena kalau kita bicara soal bonus demografi, maka kita harus mempersiapkan SDM yang mumpuni. Jangan sampai harapan bonus demografi nantinya justru berbalik menjadi beban demografi,” tegas Yoga.
Tidak hanya biaya pendidikan, keterbatasan akses pendidikan khususnya pendidikan tinggi juga disebabkan keterbatasan bangku perkuliahan. Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof. Dr. R. Agus Sartono, MBA menyebutkan dari 3,7 juta pelajar lulusan SMA/SMK/MA, hanya sebanyak 1,8 juta yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
“Jika hanya 1,8 juta dari 3,7 juta lulusan saja yang bisa melanjutkan pendidikan, artinya masih ada sekitar 1,9 juta lulusan SMA/SMK/MA yang tidak bisa melanjutkan pendidikan dan saat bekerja harus bersaing dengan lulusan-lulusan perguruan tinggi. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dapat berdampak kepada kesejahteraan rakyat,” papar Yoga.
Selain semakin sulitnya pendidikan diakses, Yoga juga menerangkan bahwa lulusan-lulusan perguruan tinggi hari ini tidak mampu menjawab kebutuhan pasar. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari semasa kuliah.
Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim dalam tayangan Universitas Sumatera Utara (USU), 80 persen mahasiswa di Indonesia bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. Sementara berdasarkan data dari United States of America (USA) pada tahun 2010, hanya 27 persen lulusan perguruan tinggi yang memiliki pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahnya.
Dilansir dari Kompas.com ada beberapa hal yang menyebabkan lulusan perguruan tinggi bekerja tidak sesuai dengan bidang ilmu saat kuliah, yakni minat, misi yang berubah seiring berjalannya waktu, sebagian besar jurusan kuliah tidak memberikan pelatihan kerja, perubahan dunia kerja yang begitu cepat, dan berbagai macam keterampilan dapat dipelajari di luar kampus.
“Saya pikir tidak hanya tentang mahalnya biaya pendidikan saja. Persoalan pendidikan kita hari ini juga terletak pada ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi dalam menjawab permintaan yang dibutuhkan pasar. Ya bisa kita lihat hari ini, masih banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar disiplin ilmu yang dipelajari di masa kuliahnya,” terang Yoga.
Berangkat dari persoalan tersebut, Yoga mengajak semua komponen untuk tidak menjadikan Hardiknas sebagai peringatan seremonial belaka. Ia berharap di momentum ini, seluruh stakeholder dapat bersama-sama merumuskan jalan keluar dari permasalahan tersebut.
“Tentu kami berharap agar Hardiknas tidak hanya sekadar seremonial belaka dan melupakan esensi utamanya. Sudah diterangkan dalam konstitusi kita bahwa memang sudah tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka penting untuk sama-sama mencari solusi dari persoalan ini agar pendidikan kita tidak semakin jauh dari tujuan utamanya,” tutup Yoga.SB/AAN