SuratanBali.Com, DENPASAR - Sejumlah teks susastra Bali, baik yang disurat dalam lontar maupun prasasti tembaga dan kayu, menyebut Gunung Agung dengan nama Tolangkir, yang berarti; “Dia Yang Maha Tinggi, Maha Mulia, sekaligus Maha Agung”. Kawasan Gunung Agung yang disucikan, juga terdapat Pura Agung Besakih, dimana Pura terbesar di dunia ini disebut sebagai “huluning Bali Rajya” atau hulu Kerajaan Bali, sekaligus juga “madyanikang bhuwana”, Pusat Dunia. Karena itu, Besakih pada masa kerajaan Bali Kuno dikategorikan sebagai kawasan hila – hila hulundang ing basukih, yang berarti kawasan suci tempat memohon kerahayuan hidup (basuki) di hulu Bali, yang dilarang, dipantangan (hila – hila) untuk dilalui atau dimasuki secara sembarangan oleh siapa pun.
Atas dasar tersebut, Gubernur Bali, Wayan Koster dan Bupati Karangasem, Gede Dana bersama Perbekel dan Bendesa Adat yang ada di wilayah Gunung Agung bersama Ketua Lembaga Pengelola Hutan hingga Ketua Forum Komunikasi Pemandu Wisata Gunung Agung menyetujui hasil Rapat Tata Kelola Pendakian Gunung Agung, yaitu : 1) Melarang wisatawan domestik dan mancanegara, serta masyarakat umum melakukan pendakian ke Gunung Agung; 2) Larangan dikecualikan untuk kepentingan upakara, upacara adat, penanganan bencana, pendidikan, penelitian, dan reboisasi; dan 3) Kawasan hutan dibagian bawah bisa dimanfaatkan, namun tidak boleh mendaki.
Rapat Tata Kelola Pendakian Gunung Agung ini berlangsung pada, Senin (Soma Wage, Kulantir) 12 Juni 2023 di Gedung Gajah, Jaya Sabha, Denpasar.SB/REDAKSI
Bagikan